Untuk Apa Kita Hidup ?
Seiring berkembangnya usia, akal pikiran manusia pada dasarnya pun ikut
berkembang, intelegensi meningkat, kemudian jauh di dalam hatinya ia
bertanya kepada dirinya sendiri, ”mengapa aku di sini?”
sumber dari https://jagad.id/perjalanan-hidup-manusia/
Kemudian pertanyaan itu dijawab ”aku di sini untuk makan dan minum, ”, tetapi jika dipikirkan secara mendalam, hal-hal semacam ini juga dilakukan oleh hewan.
Jika demikian, apakah kiranya yang membuat seseorang sempurna sebagai
manusia dan berbeda dibanding makhluk Allah yang lain? Jawaban ini tidak
tepat pastinya.
Muncul jawaban lain, ”aku di sini untuk mencari dan mendapatkan kekuasaan”.
Pencapaian kekuasaan dan kedudukan mungkin penting, tetapi kemudian ia
pun sadar dan tahu bahwa keduanya bersifat sementara. Kekuasaan jenis
apapun suatu saat akan jatuh atau sebaliknya. Kekuasaan bisa diambil
dari orang lain, dan orang lainnya lagi pun sedang menunggu untuk
mengambil atau merampasnya. Jawaban ini pun kiranya tidak tepat.
Kemudian muncul jawaban berikutnya, ”aku di sini untuk mendapatkan kehormatan”.
Kehormatan tidak akan didapatkan dengan sendirinya, seseorang harus
bersikap rendah hati dan menghormati orang lain terlebih dahulu agar
kemudian mendapatkan kehormatan yang dicarinya.
Ketika kita menelisik lebih jauh ke dalam perjalanan hidup
kita, kita melihat bahwa keinginan diri eksternal kita adalah
satu-satunya yang kita ketahui, sementara kita tidak mengetahui
kebutuhan diri sejati, yakni kebutuhan batin kita.
Kita tahu bahwa kita menginginkan
makanan dan pakaian yang baik, kehidupan yang nyaman dan menyenangkan,
mendapatkan kehormatan, dan segala cara untuk kepuasan ego kita, dan
kesemuanya ini kelihatannya seperti satu-satunya keinginan kita yang
tampak jelas. Namun itu semua tidak selalu menyertai kita.
Lalu kita berpikir bahwa apa yang kita
punya hanya sedikit dan mungkin dibutuhkan lebih banyak lagi untuk
memuaskan keinginan dan kebutuhan kita, tetapi setelah diperbanyak tetap
saja masih kurang. Bahkan andaikata seluruh alam semesta berada dalam genggaman kita, tetap saja tidak bisa memuaskan keinginan kita.
Hidup
adalah perjalanan dari satu kutub ke kutub lainnya, dan kesempurnaan
hidup adalah tujuan akhir dari kehidupan yang tidak sempurna ini. Fitrah
manusia tidak bisa menerima kalau akhir perjalanan hidupnya sama
seperti hewan, yakni lahir, hidup,
mati dan kemudian selesai. Fitrah manusia ingin agar hidupnya lebih
bermakna, ingin agar perjuangan dalam hidupnya ini tidak berakhir dengan
sia-sia.
Makna hidup, itulah yang menjadi kata
kunci eksistensi manusia. Makna hidup itulah yang membedakan manusia
dari makhluk lainnya. Allah
menciptakan manusia tidak untuk kesia-siaan, setiap manusia akan
kembali kepadaNya untuk dimintai pertanggungjawaban ketika menjalani
hidup di dunia.
Dengan demikian, keyakinan akan adanya
kehidupan akhirat memberikan dimensi spiritualisme dan idealisme kepada
orang yang beriman dalam menjalani kehidupan
di dunia ini. Sebaliknya orang yang tidak beriman memaknai hidupnya
hanya dalam dimensi materialisme dan pragmatisme. Segala sesuatu diukur
dengan keuntungan materi dan diorientasikan kepada kemanfaatan segera
atau sesaat.
Berbeda dengan orang beriman yang
mengorientasikan hidupnya ke masa depan yang jauh, yaitu akhirat. Ia
sadar sepenuhnya bahwa tidak semua yang diusahakan dan diperjuangkannya
dalam hidup ini bisa tercapai. Tetapi ia tidak kecewa dan ridha karena
yakin bahwa perjuangannya tidak sia-sia, semua ada imbalannya nanti.
Sekian tulisan tentang perjalanan hidup manusia,
semoga bermanfaat untuk anda semua dan dapat membuat diri anda lebih
menghargai dan memanfaatkan kesempatan hidup dengan sebaik mungkin.
(Bambang Setiaji – Perjalanan Hidup Manusia)sumber dari https://jagad.id/perjalanan-hidup-manusia/
Komentar
Posting Komentar